Situbondo, peristiwa.co // Framing yang ditujukan ke pesantren “Makhad Islam Kontemporer (MIK) Sarina” tentang adanya ujian fiktif dan kekerasan sebagaimana yang dituduhkan dibeberapa pemberitaan oleh Saiful Bari, warga Desa Bugeman, Kecamatan Kendit Kabupaten Situbondo, tuduhan tersebut langsung dibantah oleh pihak pesantren melalui kuasa hukumnya Dr. H. Supriyono, S.H., M.Hum., Minggu, 30/03/2025.
Kepada media ini Dr. H. Supriyono, S.H., M.Hum. menerangkan bahwa tuduhan Saiful Bari soal adanya kekerasan dan ujian fiktif di pesantren itu adalah tidak benar.
“Sama sekali tuduhan itu tidak benar, di Makhad Islam Kontemporer Sarina tidak pernah ada kekerasan dan juga tidak pernah ada ujian fiktif”, ujarnya.
“Ayo kami tantang si penuduh ini silahkan buktikan kalau memang ada kekerasan di pesantren, silahkan buktikan juga kalau ada ujian fiktif”, tambahnya.
“Si penuduh ini jangan cuma framing dan koar-koar di pemberitaan, silahkan buktikan”, imbuhnya
“Justru kami kasihan ke si penuduh ini, kalau nanti tuduhannya tidak terbukti maka giliran kami yang akan melaporkan balik”, jelasnya.
Sebelumnya beredar dibeberapa media pemberitaan tentang keterangan Saiful Bari bahwa anaknya telah mengalami kekerasan waktu mondok di Makhad Islam Kontemporer Sarina yang beralamat di Kelurahan Ardirejo, Kecamatan Panji, Kabupaten Situbondo Provinsi Jawa Timur.
Bahkan dibeberapa pemberitaan Saiful Bari juga menuduhkan adanya ujian fiktif di pesantren sampai kemudian dirinya mengadukan dugaan ujian fiktif tersebut ke Polres Situbondo.
Menanggapi tudingan Saiful Bari yang mengadukan dugaan adanya ujian fiktif tersebut, Dr. H. Supriyono, S.H., M.Hum., menyatakan kalau anak dari Saiful Bari ini tidak ikut ujian karena dibawa pulang tanpa pamit ke pesantren dan tidak kembali lagi.
“Anaknya Saiful Bari ini tidak lulus, karena tidak ikut ujian”, tegasnya.
“Sebenarnya, Madrasah Ibtidaiyah Multiple Sarina masih memberikan kesempatan selama satu minggu sejak ujian berakhir bagi anak tersebut untuk mengikuti ujian susulan, tetapi kesempatan itu tidak dimanfaatkan”, sebutnya.
Lebih lanjut Dr. H. Supriyono, S.H., M.Hum., menyatakan bahwa pengaduan ke polisi oleh Saiful Bari ini diduga kuat karena sakit hati, sehingga dengan berbagai cara sampai mencari-cari kesalahan pondok.
Menurut Dr. H. Supriyono, S.H., M.Hum., bahwa dugaan sakit hati ini berkaitan dengan status pelapor sebagai mantan wali murid yang pernah berjualan sarung, kue dan usus ayam kepada santri tapi tidak diperbolehkan oleh pesantren.
“Saiful Bari ini pernah jualan sarung, kue, usus ayam kepada santri namun oleh pesantren tidak diperbolehkan karena usus ayam yang dijual harganya sangat mahal yaitu sebesar 30 ribu dan terhadap itu banyak wali santri yang protes dan mengeluhkan karena anaknya di pesantren sering kekurangan uang karena uang yang dipegang santri dibuat beli usus ayam”, bebernya.
Bahkan menurut Dr. H. Supriyono, S.H., M.Hum., anaknya Saiful Bari ini sering tidak membayar kewajiban sekolah, tetapi hal itu tidak pernah dipermasalahkan.
Dr. H. Supriyono, S.H., M.Hum., menyebut, anaknya Saiful Bari pernah mengaku sudah membayar kewajibannya, tetapi setelah dicek dalam pembukuan pesantren, ternyata tidak ada pembayaran.
“Karena sering tidak membayar, kepala sekolah menegur dan menyuruh anak tersebut untuk berbicara jujur kepada ayahnya. Akhirnya, Zilfa benar-benar menyampaikan kepada ayahnya. Namun, bukan dibayarkan, justru Zilfa dipukul oleh ayahnya sendiri, bukan oleh kepala sekolah,” ujarnya.
“Sejak dipukul sendiri oleh ayahnya itulah, Zilfa langsung dibawa pulang oleh ayahnya dan tidak kembali lagi ke pondok dan tidak ikut ujian kelulusan”, pungkasnya.
Penulis: Red
Editor: Red