Sumenep, peristiwa.co // Polemik dugaan perzinahan yang melibatkan Siti Nur Akida (SNA), korban KDRT yang dilaporkan balik oleh suaminya, Sigit Indianto (SI), kini memasuki babak baru. Namun kali ini sorotan publik bukan hanya pada kasus hukum diantara keduanya, melainkan pada sikap kuasa hukum SNA, Sulaisi.
Alih-alih memberikan hak jawab atau bantahan resmi atas media yang memberitakan Siti Nur Akida (SNA), Sulaisi sebagai kuasa hukum justru menyerang media Detik One melalui sejumlah media grupnya sendiri. Serangan itu berisi narasi dan tudingan yang diarahkan kepada media yang dianggap merugikan kliennya.
Langkah ini dinilai sejumlah kalangan sebagai tindakan intimidatif dan tidak profesional. Pasalnya, Undang-Undang Pers telah memberikan ruang yang jelas bagi siapa pun yang keberatan terhadap pemberitaan, yakni dengan menyampaikan klarifikasi atau hak jawab, bukan dengan cara menyerang atau melakukan tekanan kepada medianya.
Dari penelusuran media ini, tindakan Sulaisi di beberapa media terkesan mengarah pada upaya membungkam pemberitaan. Sikap semacam ini justru bertentangan dengan prinsip keterbukaan informasi dan kebebasan pers yang dijamin konstitusi.
“Kalau keberatan dengan isi berita, jalurnya jelas: gunakan hak jawab atau tempuh mekanisme Dewan Pers. Serangan terbuka kepada media hanya menambah kesan bahwa ada upaya mengintimidasi,” ujar salah satu pemerhati media di Sumenep yang enggan disebutkan namanya.
Serangan verbal seorang pengacara kepada media juga menimbulkan pertanyaan besar soal profesionalitas. Publik menilai, seorang advokat semestinya memberi teladan dengan menggunakan mekanisme hukum yang elegan, bukan justru menebar teror atau tekanan.
Hingga berita ini diturunkan, pihak Detik One belum mengeluarkan pernyataan resmi. Namun, isu ini diyakini akan terus menjadi sorotan karena menyangkut relasi kemitraan antara advokat, klien, dan kebebasan pers.
Penulis : Red
Editor : Red












